Sabtu, 25 Februari 2017

NEGARAWAN ATAU POLITISI

Orang yang memegang kekuasaan tidak punya waktu untuk membaca buku, orang t\yang tidak membaca tidak pantas memegang kekuasaan. (Voltaire)

Negara ini semacam terkena kutukan terkait kepemimpinan. Bung Karno vs Bung Hatta, Soeharto-Sri Sultan Hamengku Buwono, Soeharto-Adam Malik, dan Gus Dur-Megawati. Dan Konon, di daerah tempat tinggal kita Situbondo, masih belum hilang antara pertentangan antara Dadang Wigiarto dan Rahmad. Entah apa yang menjadi pertentangan antara mantan Bupati dan Wabup Situbondo ini. Yang pasti pertentangan Bupati dan Wabup Situbondo ini bukan pertentangan hal yang prinsip.

Pada pra kemerdekaan, Bung Karno dengan Partai Nasional Indonesia dan Bung Hatta dengan Perhimpunan Indonesia  di Belanda, mereka menemukan momentum politiknya di pengadilan hingga mereka berdua di kenal di kalangan aktivis.

Di bawah kepemimpinan Bung Hatta, Perhimpunan Indonesia yang berada di Belanda selalu mengkritik Belanda secara radikal di satu sisi,dan mengobarkan semangat kemerdekaan pada sisi yang lain. Hal demikian yang membuat Bung Hatta dan Ali Sastroamidjojo,Nazir Pamuntjak dan Abdul Madjid di tangkap.

Pada masa ini lah, Bung Hatta dan Perhimpunan Indonesianya mulai merubah strategi perjuangannya dalam kemerdekaan. Semula Bung Hatta yang sangat terkenal Non Kooperatifnya berubah haluan menjadi Non Kooperatif tetapi kompromistis. Hal ini pula yang menjadi awal mula pertentangan kerasnya dengan Bung Karno, Sedangkan Bung Karno dengan Partai Nasionalisnya di tangkap oleh pemerintah Hindia Belanda karena agitasi dalam pidato yang di sampaikan dalam pertemuan pertemuan.

Pada masing masing pembelaannya di pengadilan. Kedua tokoh ini melahirkan buku, Bung Karno dengan Indonesia menggugatnya, Hatta dengan menuju Indonesia merdeka. Pun demikian konsep negara indonesia ketika meraih kemerdekaan. Bung Karno menginginkan Demokrasi Terpimpin, Bung Hatta menginginkan Demokrasi Parlementer. Bung Karno mabuk Persatuan dengan negara kesatuan , sedangkan Bung Hatta negara sarikat karena sesuai dengan konsep Demokrasi Parlementernya.

Buku ini tidak di tulis dalam rangka untuk mempertajam perselisihan antara Bung Karno dan Bung Hatta. Karena seperti yang di tulis oleh Penulis Wawan Tunggul Alam, pertentangan antara keduanya bukan murni dalam diri mereka, tapi ada pihak ketiga yang selalu memperuncing perselisihan antara Bung Karno dan Bung Hatta.

Ada banyak hal yang perlu di ambil oleh generasi saat ini dalam perselisihan antara keduanya. Pada diri keduanya terdapat unsur karakter negarawan yang sudah mulai luntur pada pemimpin saat ini. Meskipun antara Bung Karno dan Bung Hatta berselisih tapi sangat jarang perselisihan antara keduanya menjelek jelekkan sisi pribadi kedua tokoh.

Lain pada itu, pembaca bisa juga mengambil keteladanan bahwa pada masa pra kemerdekaan antara Bung Karno dan Bung Hatta dalam pertentangannya selalu dengan cara tulisan dibalas dengan tulisan. Isinya pun berkaitan dengan pemikiran pemikiran dua tokoh ini. Meskipun kedua tokoh ini memiliki media cetak atau Koran sebagai tempat pertumpahan ide dan gagasannya tapi dua tokoh ini menghargai dengan membacanya.

Justru yang tidak lazim adalah pengikut Bung Karno, kepala pimpinan Partindo melarang membaca koran yang bukan sealiran dengan konsep Partindo. Tidak dengan pengikut bung Hatta yang menyarankan untuk membaca pula Koran-koran yang bukan dari Pendidikan Nasional Indonesia.

Tapi buku ini tidak hanya berisi tentang pertentangan antar keduanya. Seperti Percerain Sukarno dan Inggit. Hatta, Ki Hajar Dewantara dan Ki Bagus Hadikusomo membuat kesepakatan untuk tidak meninggalkan Inggit sepenuhnya, tapi sukarno harus memberikan Rumah dan Uang belanja untuk keperluan Inggit karnasih. Demikian pula dengan pernikahan Hatta dan istrinya, sukarno langsung yang meminta kepada ibu istrinya hatta.

Dua tokoh ini memberikan warisan karakter seorang negarawan yang aktif di bidang politik yang bisa kita ambil sebagai pedoman dan rujukan untuk generasi saat ini di saat politisi kita sibuk dengan urusan alat kelengkapan daerah.
Karena bagi penulis, yang membedakan seorang negarawan dengan politikus, disaat negarawan berpikir tentang generasi masa depan, seorang politisi berpikir tentang pemilihan masa depan. Konon, tuhan menciptakan makhluk politik dengan karakter berlipat ganda.

Dalam waktu singkat seorang politisi bisa merubah diri dari yang benci menjadi suka,  bisa menjadi seorang yang dekat dengan rakyat tapi dalam waktu yang singkat pula mencekik rakyat. Politisi bisa kapan saja menjadi seorang actor film,penjual obat dengan teriak-teriak nama rakyat, sesekali bisa juga menjadi seorang yang sok berlagak seperti seorang guru.

Negarawan atau Politisi??
(Tulisan ini adalah ulasan Book Review Gerakan Situbondo Membaca “Pertentangan Bung Karno vs Bung Hatta penulis Wawan Tunggul Alam)

Imam Sofyan
Koordinator Gerakan Situbondo Membaca

Previous Post
Next Post

0 Comments:

Silahkan berikan komentar/tanggapan Anda mengenai info ini. semoga bermanfaat. Salam IWStimewa