Kamis, 23 Februari 2017

SITUBONDO SEBAGAI KOTA ILMU PENGETAHUAN

Situbondo adalah kota santri. itu hanya sebatas simbol. Bukan sebuah identitas. Situbondo adalah bumi shalawat itu adalah gerakan massif yang di dukung kebijakan. Anda bisa liat di kantor-kantor dinas, desa desa, plosok plosok, dusun dusun bahkan kampung kampung masyarakat Situbondo begitu bersemangat membaca shalawat nariyah.

Stereotipe santri melekat sebagai sebuah entitas mandiri dalam mengelola ekonomi, mengatur kedisiplinan, serta hasrat ingin tahu yang besar dalam menggali ilmu pengetahuan. santri yang berada di bawah naungan pesantren harus bergelut dengan teks kitab kuning atau kitab gundul. Yang sudah barang tentu untuk mengetahui atau bisa membaca teks yang tak memakai harkat itu harus paham terlebih dahulu disiplin ilmu : Nahwu dan Shorrof. Itupun dalam kitab nahwu berada tingkatan tingkatan tertentu.: Al Jurmiyah, Al Asymawi, Mutammimah dan Ibnu Aqil. Hasrat ingin tahu inilah identitas santri.

Santri harus mengerti terhadap ilmu tersebut sebagai syarat untuk mengetahui kitab kitab klasik. Jadi, seperti yang pernah di ungkapkan Cak Nun dalam buku “Anggukan Ritmis kaki sang kyai” tanpa ada embel embel cendekiawan pun santri itu sudah cendekiawan. Jadi anda bisa menggambarkan bahwa kota santri adalah daerah yang masyarakatnya berpengetahuan. Tapi seperti yang saya ungkapkan di atas, bahwa saat ini situbondo sebagai kota santri hanya sebatas simbol. Simbol!

Kita tak akan pernah tahu kapan Situbondo akan sampai pada tahap sebagai kota pengetahuan. itu karena para elit politiknya masih berkutat pada prioritas pembangunan fisik. Bukan pada bangunan sumber daya manusianya.
Banyaknya pesantren di daerah Situbondo tidak di jadikan landasan pikiran para elit untuk membangun masyarakat yang memiliki karakter paternalistic berdasarkan fanatisme untuk hijrah pada paternalistic berdasarkan ilmu pengetahuan.

Santri yang melekat pada kota Situbondo harus menjadi falsafah dalam menggali potensi manusianya dan mengakar pada masyarakat akar rumput. Jika Shalawat Nariyah saja bisa hingga ke akar rumput apa tidak mungkin Situbondo sebagai Kota santri yang memiliki hasrat ingin tahu yang besar (membaca buku) sampai pula ke akar rumput jika di topang dengan kebijakan para elit.

Penulis menyadari benar peradaban kita di bangun atas dasar dongeng bukan pada membaca sebuah buku. Tapi yang terjadi saat ini kita masih kesulitan terhadap dongeng yang “khas” atau lahir dari rahim Situbondo. Atas dasar kesulitan ini, sepantasnya membangun Situbondo berawal dari buku. 
Dan substansi santri selain yang di sebutkan di atas adalah takwa kepada allah SWT. Yang di butuhkan dalam sebuah pembangunan masyarakat Situbondo, tidak hanya manusia manusia terdidik, tapi manusia yang tercerahkan.
Para pendiri bangsa ini tidak hanya terdidik, tapi juga tercerahkan.

Bung hatta yang sedari kecil di didik keras dalam hal keagamaan, pun demikian dengan Tan Malaka yang beraliran sosialis. R.A. Kartini yang menginspirasi Kyai Sholeh darat untuk menafsirkan surat al fatihah dengan menggunakan bahasa jawa. Mereka semua adalah tokoh bangsa Indonesia yang tidak hanya terdidik tapi juga tercerahkan. Disini lah letak hubungan antara agama dan Negara, Agama menjadi instrument penting dalam mendidik warga negaranya.

Mari budayakan  membaca di kota santri. Karena membaca itu adalah gaul, membaca itu keren. Membaca itu tampan dan tentu saja membaca itu cantik.

Imam Sofyan
(Koordinator Gerakan Situbondo Membaca)

Previous Post
Next Post

0 Comments:

Silahkan berikan komentar/tanggapan Anda mengenai info ini. semoga bermanfaat. Salam IWStimewa